Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan bermacam-macam upacara agar harapan pemilik dan semua orang yang terlibat dalam pengerjaannya terpenuhi. Selain itu, upacara juga ditujukan supaya mereka semua terhindar dari malapetaka. Upacara yang umum dilakukan dalam pekerjaan ini adalah Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki Rumah.
a. Upacara Beramu
Upacara Beramu disebut juga Mendarahi kayu, Meramu, atau Membahan. Tujuannya agar orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan tidak mendapat gangguan dari “penunggu hutan”, sebagaimana yang tergambar dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang, Dukun, atau Kemantan yang melakukan upacara:
Upacara Beramu disebut juga Mendarahi kayu, Meramu, atau Membahan. Tujuannya agar orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan tidak mendapat gangguan dari “penunggu hutan”, sebagaimana yang tergambar dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang, Dukun, atau Kemantan yang melakukan upacara:
Assalamualaikum ibu ke bumi
Assalamualaikum bapa ke langit
Si Dogum namanya bumi
Si Coca namanya kayu
Induk Alim namanya tanaman
Menentukan salah dengan silih
Jangan diberi rusak
Jangan diberi binasa
Pada anak sidang manusia
Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua
Berkat Lailahaillallah
Assalamualaikum bapa ke langit
Si Dogum namanya bumi
Si Coca namanya kayu
Induk Alim namanya tanaman
Menentukan salah dengan silih
Jangan diberi rusak
Jangan diberi binasa
Pada anak sidang manusia
Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua
Berkat Lailahaillallah
Upacara ini disebut Mendarahi Kayu,
karena Pawang yang memimpin upacara ini lebih dulu menyiram kayu yang
akan ditebang dengan darah ayam sebelum ditepungtawari. Darah ayam yang
disiram ke pangkal pohon itu melambangkan bersebatinya darah
manusia dengan darah semua makhluk dalam hutan, sehingga mereka tidak
akan mengganggu orang-orang tersebut. Lambang-lambang yang terdapat
dalam upacara ini mencerminkan sikap hidup orang Melayu yang senantiasa
menghormati orang lain serta selalu ingin menjalin persahabatan dan
persaudaraan dengan siapa saja di bumi ini.
b. Upacara Mematikan Tanah
Upacara Mematikan Tanah bertujuan untuk membersihkan tanah tempat bangunan akan didirikan dari segala makhluk halus yang mendiaminya. Upacara yang dilakukan secara besar-besaran ini disertai dengan penyembelihan seekor kerbau. Jika diadakan secara sederhana, upacara itu disertai dengan penyembelihan seekor kambing atau seekor ayam.
Upacara Mematikan Tanah bertujuan untuk membersihkan tanah tempat bangunan akan didirikan dari segala makhluk halus yang mendiaminya. Upacara yang dilakukan secara besar-besaran ini disertai dengan penyembelihan seekor kerbau. Jika diadakan secara sederhana, upacara itu disertai dengan penyembelihan seekor kambing atau seekor ayam.
Peralatan
yang dipakai dalam upacara ini mengandung lambang dengan arti yang
berkaitan dengan nilai-nilai budaya Melayu, yaitu: (1) Kain Campo
Tengkuluk Godang, yakni sejenis selendang yang terdiri dari 3, 5, atau 7
warna untuk diselimutkan pada Tiang Tua. Kain melambangkan ibu rumah
tangga yang akan mendiami rumah itu, sedangkan penyelimutan pada tiang
menggambarkan kasih sayangnya kepada suami, anak-anak, dan keluarganya.
Warna-warna kain pun mempunyai arti, yaitu merah sebagai lambang
persaudaraan, hitam untuk keberanian atau kedubalangan, hijau untuk kesuburan atau bertunas, biru untuk kebahagiaan atau cayo langit, putih untuk kesucian atau putih hati seperti kapas, dan kuning untuk kekuasaan atau ono ajo;
(2) Sirih setangkai yang melambangkan penghormatan kepada masyarakat
yang ikut membantu mendirikan bangunan tersebut; (3) Bibit kelapa dua
jurai yang melambangkan hubungan berkeluarga dan berketurunan; (4)
Mayang pinang satu jurai yang melambangkan kecantikan dan keselarasan
hidup dalam rumah tangga; (5) Payung, melambangkan tempat berlindung
bagi siapa saja yang memerlukannya; (6) Kain panji dan umbul-umbul
sebagai lambang keragaman suku yang ada dalam masyarakat yang telah
turut membantu mendirikan bangunan tersebut; (7) Alat musik celempong,
tetawak, dan gendang yang melambangkan kegembiraan dan kebahagiaan; (8)
Seperangkat peralatan tepung tawar yang terdiri dari daun Setawar
yang berarti obat segala bisa, daun Sedingin untuk mendinginkan kepala
yang panas, menyejukkan hati, dan berlapang dada, daun Ati-ati yang
berarti bijak berkata-kata dan baik tingkah-laku, daun Gandarusa untuk
penangkal malapetaka dari luar, bedak Limau untuk membersihkan jasmani
dan rohani, air Percung yang mengandung arti “memberi tidak diminta, melepas tidak disentak”
atau ikhlas dan rela berkorban, dan beras kunyit, beras basuh, dan
bertih yang mengandung arti keselamatan, kemakmuran, dan kesucian hati;
(9) Bebara dan kemenyan sebagai tanda persahabatan dengan segala makhluk
serta ajakan dan pernyataan bahwa di tempat itu diadakan upacara; (10)
Limau Purut, penyembuh segala penyakit, tangkal penolak bala; (11) Hewan
sembelihan untuk semah atau sedekah kepada makhluk di sekitar
tempat itu; (12) Tahi besi dan besi berani sebagai lambang kekuatan,
kebulatan hati, dan daya pikat dalam pergaulan; (13) Lumpur laut atau
lumpur tanah bekas perumahan keluarga tertua yang melambangkan
kelemah-lembutan, tidak kaku, dan kekal abadi; (14) Inggu untuk menolak
makhluk halus yang jahat; (15) Daun Juang-juang, lambang hidup dan mati,
serta sebagai penangkal sihir; (16) Tunam, yaitu semacam obor dari
kulit kayu dan damar yang melambangkan cahaya, seri atau rumah tangga
yang terang benderang.
c. Upacara Menaiki Rumah
Upacara Menaiki Rumah ditujukan sebagai ucapan terima kasih dari pemilik rumah atau bangunan itu kepada orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-kadang upacara ini diikuti kenduri atau makan bersama yang didahului doa selamat.
Upacara Menaiki Rumah ditujukan sebagai ucapan terima kasih dari pemilik rumah atau bangunan itu kepada orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-kadang upacara ini diikuti kenduri atau makan bersama yang didahului doa selamat.
0 komentar:
Posting Komentar