Home » » Kerajaan Pelalawan - Kerajaan Melayu Di Riau

Kerajaan Pelalawan - Kerajaan Melayu Di Riau

Istana Sayap Kerajaan Pelalawan


Balai Sayap Kiri dan Kanan Kerajaan Pelalawan


 

1. Sejarah
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan, raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.
Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.
Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460), Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.
b.  Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).
c.  Kerajaan Tanjung Negeri  (1675-1725)
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691).
Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya, Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.
d.  Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750). Pada masa ini diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar,  jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).
Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.
Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan Begito (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. Maharaja Lela II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.
2. Silsilah
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
    a:3:{s:3:
  1. Maharaja Indera (1380-1420)
  2. Maharaja Pura (1420-1445)
  3. Maharaja Laka (1445-1460)
  4. Maharaja Sysya (1460-1480)
  5. Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
  1. Munawar Syah (1505-1511)
  2. Raja Abdullah (1511-1515)
  3. Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
  4. Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
  5. Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
  6. Tun Hitam (1551-1575)
  7. Tun Megat (1575-1590)
  8. Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
  9. Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
  10. Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
  1. Maharaja Lela Utama (1675-1686)
  2. Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
  3. Maharaja Muda Lela (1691-1720)
  4. Maharaja Dinda II (1720-1725).
d. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
  1. Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
  2. Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
  3. Maharaja Lela II (1775-1798)
  4. Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
  5. Syarif Hasyim (1822-1828)
  6. Syarif Ismail (1828-1844)
  7. Syarif Hamid (1844-1866)
  8. Syarif Jafar (1866-1872)
  9. Syarif Abubakar (1872-1886)
  10. Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
  11. Syarif Hasyim II (1892-1930)
  12. Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
  13. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
3. Periode Pemerintahan
Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.
4. Wilayah Kekuasaan.
Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.
5. Struktur Pemerintahan
Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Putri Pakning

0 komentar:

Posting Komentar

 
My Blog : Boedak Begajol | Budaya Bangsa | Hacker Pakning
Copyright © 2011. Melayu Tolen - All Rights Reserved