A. Asal-usul
Dari kapas menjadi benang,
Pilin benang menjadi kain.
Bidal
tua Melayu di atas merupakan tugu pengingat dan simbol kreatifitas
masyarakat Siak mengubah kapas menjadi tenunan nan eksotik yang menjadi
simbol keagungan, yaitu Tenun Siak. Tenun Siak, sebagaimana namanya,
merupakan tenunan tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat Siak,
Provinsi Riau. Tenunan ini telah ada sejak Siak masih berupa kesultanan
dengan Tengku Said Ali, bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul
Jalil Baalawi (1784-1810),[1] sebagai sultannya Adila Suwarno et.al., 2005:101), atau tenunan ini telah berumur lebih dari dua abad.
Cikal
bakal keberadaan tenunan ini bermula ketika Encik Siti Binti Encik
Karim, seorang pengrajin tenun dari Kesultanan Trengganu, Malaysia,
dibawa ke Kesultanan Siak oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil
Baalawi. Sultan Syarif Ali menugaskan Encik Siti agar mengajari para
bangsawan Kesultanan Siak tata cara bertenun (Dekranasda Riau, 2008:7).
Oleh karena hanya untuk kaum bangsawan, maka tahap awal keberadaan
kerajinan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan busana kaum bangsawan,
khususnya para sultan dan keluarganya. Bagi sultan dan kaum bangsawan
Siak, tenunan ini menjadi simbol keagungan dan kewibawaan, sedangkan
bagi pengrajinnya merupakan simbol pengabdian kepada sultan dan
keluarganya (Pusdatin Riau, 2008:115).
Dalam
perkembangannya tenunan ini ternyata tidak hanya berkembang di
lingkungan Istana Siak, tetapi juga menembus tembok-tembok keraton dan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Siak. Yusmar Yusuf (dalam
Pusdatin Riau, 2007: 112) mengilustrasikan secara apik betapa tenunan
ini telah menyatu dengan masyarakat Siak.
“Di
kampung-kampung apabila kita melewati rumah orang-orang yang sedang
bertenun, akan terdengar orang melantak sisir dan torak…. trak-trak…..
sreeet… trak-trak….. sreeet. Begitulah bunyi torak yang terdengar
berirama yang diselingi dengan suara anak dara yang tertawa renyah…”
Perkembangan
dari sekedar kerajinan kaum bangsawan menjadi kerajinan yang hidup dan
berkembang bersama masyarakat Siak secara keseluruhan, tidak serta
merta memudarkan spirit dari keberadaan awal tenunan ini di Kesultanan
Siak. Demikian juga dengan perkembangan zaman, walaupun zaman telah
berubah dengan segala dinamika yang melingkupinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam tenunan ini tidak serta-merta juga berubah. Nilai itu
adalah pengabdian kepada sultan dan kerabatnya. Salah seorang pengrajin
Tenun Siak, Masajo[2], sebagaimana dikutip oleh Yusmar Yusuf (dalam PUSDATIN PUANRI, 2007: 112) mengatakan:
“Pada
masa lalu hingga sekarang, menenun bukan saja kerja mencari duit,
tetapi juga sebagai bagian dari pengabdian kepada sultan, para
datuk-datuk, dan pembesar negeri lainnya… walau tidak seperti dulu,
Tenun Siak tetap hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai pusaka yang
bernilai… bak setanggi, dia menyeruakkan aroma, dan mengharum hingga
kini.”
Pada
awalnya, Tenun Siak dibuat dengan sistim tumpu. Seiring perkembangan
zaman, proses pembuatannya juga berubah, yaitu dengan alat yang bernama
"Kik". Kik adalah alat tenun yang cukup sederhana, terbuat dari bahan
kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Oleh karena alatnya relatif kecil,
kain yang dihasilkan juga relatif kecil. Untuk membuat kain sarung
misalnya, diperlukan dua helai kain tenun yang disambung menjadi satu
(kain berkampuh). Dan seiring perkembangan zaman, alat tenun Kik
diganti dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Dengan alat ini, waktu
pengerjaan tenunan lebih cepat dengan ukuran kain yang dihasilkan lebih
besar.
Sebagaimana
kain tradisional Melayu dari daerah lain, seperti Tenun Sambas, Kain
Ulos, dan Tenun Lampung, eksistensi Tenun Siak juga mengalami
pasang-surut, bahkan semakin lama perkembangannya semakin
mengkhawatirkan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan Tenun
Siak untuk bersaing dengan produk tekstil modern, baik dalam keindahan
desain, efektifitas pengerjaan, maupun harganya. Kondisi ini
menyebabkan Tenun Siak semakin lama semakin sedikit, khususnya
gernerasi muda, yang mau menggelutinya. Jika kondisi ini dibiarkan,
maka bukan hal yang mustahil jika tapak sejarah perjalanan Kesultanan
Siak ini musnah tergilas perkembangan zaman.
Untuk menjamin kelangsungan eksistensi Tenun Siak, para pemangku kepentingan harus bersama-sama melestarikan Tenun Siak. Secara garis besar, ada dua model pelestarian yang harus dilakukan, yaitu secara pasif dan aktif. Secara pasif yang
dapat dilakukan untuk melestarikan Tenun Siak, yaitu: (a) melakukan
dokumentasi beragam corak dan motif Tenun Siak. Tenun Siak mempunyai
motif dan corak yang sangat kaya, dengan nilai-nilai budaya dan
ekonomis yang sangat tinggi. Hanya saja, seiring perkembangan zaman
kekayaan corak, motif, dan nilai-nilai yang dikandungnya tersisihkan
dan terlupakan. Oleh karena itu, upaya dokumentasi beragam motif dan
corak Tenun Siak harus segera dilakukan; (b) mempublikasikan hasil
dokumentasi tersebut agar kekayaan motif dan corak Tenun Siak diketahui
masyarakat luas, khususnya generasi muda Siak. Dengan cara ini,
keragaman corak dan motif Tenun Siak akan diketahui oleh masyarakat,
sehingga memungkinkan untuk kembali diingat dan menjadi sumber
inspirasi untuk melestarikan dan mengembangkannya; (c) membuat proteksi
terhadap motif dan corak Tenun Siak. Dalam era global saat ini,
memproteksi keberadaan sebuah produk merupakan sebuah keniscayaan untuk
melindunginya dari klaim-klaim pihak tertentu.
Pelestarian
secara aktif dapat dilakukan dengan: (a) memperbanyak tenaga pengrajin
Tenun Siak. Kendala utama yang sering dihadapi untuk melestarikan kain
trdisional, seperti Tenun Siak, adalah semakin minimnya jumlah para
pengrajin. Sedikitnya ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu: pertama,
menjadi pengrajin tidak bisa menjadi tumpuan untuk hidup. Jika ini
yang menjadi kendalanya, maka tugas para pemangku kepentingan adalah
melakukan langkah kreatif agara para pengrajin tenun mendapat jaminan
hidup masa depan yang lebih baik; kedua, minimnya kesadaran dan
kecintaan generasi muda pada Tenun Siak. Ketidakpedulian atau
ketidaktertarikan generasi muda belajar menenun terkadang tidak
semata-mata karena mereka tidak mencintai khazanah warisan budaya,
tetapi karena mereka tidak mendapat informasi yang cukup memadai
tentang tenunan tersebut. Oleh karena itu yang diperlukan adalah
menumbuhkan kecintaan anak muda terhadap tenunan ini; (b)
mengeksplorasi nilai ekonomis Tenun Siak. Agar
masyarakat tertarik untuk berpartisipasi dalam pelestarian Tenun Siak,
maka salah satu yang paling praktis adalah menjadikan Tenun Siak
sebagai sumber ekonomi masyarakat. Jika Tenun Siak telah menjadi sumber
ekonomi, maka dengan sendirinya masyarakat akan melestarikan tenunan
ini. Agar menjadi sumber ekonomi, sedikitnya ada dua hal yang harus
dilakukan, yaitu memperluas wilayah penjualan, dan memperbanyak
derivasi hasil produk.
Derivasi produk Tenun Siak
B. Bahan-Bahan dan Peralatan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat Tenun Sambas, antara lain:
- Kapas. Kapas merupakan bahan dasar untuk membuat Tenun Siak. Pada zaman dahulu, para pengrajin tenun melakukan sendiri proses memintal kapas menjadi benang. Biji-biji kapas yang baru dipanen keluarkan dengan cara dijemur. Setelah biji-bijinya dipisahkan oleh panas matahari, kapas itu dipintal menjadi benang, sebagaimana bidal Melayu, ”dari kapas menjadi benang, pilin benang benang menjadi kain” (dalam PUSDATIN PUANRI, 2007: 108-109). Saat ini, para pengrajin tidak perlu lagi memintal kapas menjadi benang, karena benang untuk membuat tenunan telah banyak dijual di toko-toko. Oleh karena benang tidak dibuat sendiri oleh para pengrajin, maka waktu yang diperlukan untuk membuat selembar Tenun Siak menjadi semakin sedikit.
Proses menggulung/mengelos benang tenun
- Pewarna. Bahan ini diperlukan untuk mewarnai benang yang hendak digunakan untuk membuat Kain Tenun Sambas. Pewarnaan benang berdasarkan warna Kain Tenun Songket yang hendak dibuat. Bahan pewarna menggunakan bahan-bahan alami. Untuk membuat warna merah menyenggau, dilakukan dengan merebus buah kesumba keling yang dicampur dengan kapur. Warna jingga dihasilkan dari rebusan campuran umbi temu kuning dengan kapur, atau dari campuran kulit manggis dengan kapur yang direbus dengan celisan manggar kelapa. Hitam dari pencelup hitam semcam wantek. Hijau dari rebusan campuran daun kayu nodo dan kapur. Warna biru merupakan hasil campuran dari senduduk/kenduduk dan temu lawak. Sedangkan warna coklat dari rebusan kayu samak (dalam PUSDATIN PUANRI, 2007: 113). Untuk menghasilkan warna yang diinginkan, diperlukan waktu yang relatif cukup lama. Saat ini, telah tersedia pewarna yang dijual di toko-toko dengan kualitas beragam sesuai dengan keinginan si pengarajin, sehingga proses pewarnaan benang relatif lebih mudah dengan waktu yang lebih singkat.
Dari
kiri atas searah jarum jam, proses pewarnaan benang: (a) membersihkan
benang, (b) mencampur zat pewarna, (c) mencelupkan benang, (d) menjemur
benang
- Benang emas. Tenun Siak tidak dapat dipisahkan dari benang jenis ini. Benang ini digunakan untuk membuat motif tenunan.
Secara
garis besar, peralatan yang digunakan untuk membuat Tenun Siak ada dua
macam, yaitu Kik dan atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Untuk
peralatan Kik, diperlukan tambahan sebagai berikut:
- Karap, yaitu alat pemisah benang atas dengan benang bawah.
- Sisir, yaitu alat pemisah susunan benang lonsen/longsi.
- Belebas, alat bantu menyusun motif.
- Peleting, bambu kecil tempat benang lintang.
- Torak, alat tempat peleting.
Torak
- Lidi pemungut, alat bantu membentuk motif.
- Pijak-pijak, yaitu alat pijak untuk menggerakkan benang lonsen ke atas dan ke bawah mengapit benang pakan.
- Bangku-bangku, tempat duduk penenun (Dekranasda Riau, 2008: 90).
ATMB
merupakan penyempurnaan dari alat tenun Kik. Jika pada Kik
peralatan-peralatan pendukung berada terpisah, maka pada ATMB semua
peralatan menyatu dalam satu alat, sehingga proses pembuatan tenunan
menjadi lebih efektif dan mudah, dengan waktu pembuatan relatif lebih
cepat. Jika menggunakan Kik waktu yang diperlukan untuk membuat
selembar kain sekitar 3-4 minggu, maka dengan ATMB cukup antara 5-7
hari.
Sisir pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATMB)
C. Proses Pembuatan
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu:
- Membuat motif tenunan. Tahap paling awal dari proses pembuatan Tenun Siak adalah membuat pola dan motif tenunan. Membuat pola dan motif harus dilakukan dengan teliti dan tidak asal menggambar.
- Mempersiapkan bahan-bahan. Setelah pola dan motif dibuat, maka tahap selanjutnya adalah mempersiapkan benang-benang, baik warna yang diinginkan maupun jumlah yang diperlukan, untuk membuat tenunan yang hendak dibuat.
- Mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Keberadaan peralatan sangat menentukan kelancaran proses pembuatan tenunan. Biasanya, peralatan untuk menenun telah tersedia, sehingga yang diperlukan adalah mengecek jikalau ada masalah dengan peralatan-peralatan yang telah tersedia.
2. Tahap Pembuatan
Setelah
pola dan motif dibuat, benang-benang yang diperlukan disiapkan, dan
peralatan telah siap pakai, maka proses pembuatan Tenun Siak dapat
segera dimulai. Proses pembuatan Tenun Siak adalah sebagai berikut:
a. Dengan Menggunakan Kik
Tahap pertama pembuatan Tenun Siak adalah menerau, yaitu mengumpulkan untaian benang
dan menggulungnya pada seruas bambu. Selanjutnya, gulungan benang
tersebut disusun menyatu dengan benang lainnya hingga mencapai panjang
sekitar 20-30 cm. Kemudian dilanjutkan dengan mengani, yaitu
proses menggulung benang pada gulungan yang terletak diujung Kik.
Selanjutnya, benang yang telah digulung pada ujung Kik di rentangkan
sesuai dengan panjang Kik. Benang yang terentang ini disebut longsi atau lonsen. Setelah benang terentang, proses membuat selembar tenunan dapat dimulai (Dekranasda Riau, 2008: 90).
Seorang pengrajin sedang menenun menggunakan Kik
b. Dengan Menggunakan ATMB.
Membuat
Tenun Siak menggunakan ATMB tidak jauh berbeda dengan menggunakan Kik.
Hanya saja karena ATMB merupakan penyempurnaan dari Kik, penggunaan
ATMB menjadikan proses menenun menjadi lebih mudah dan efektif, dengan
waktu pengerjaan yang lebih efisien, serta hasil kain yang lebih lebar.
Proses
awal pembuatan tenunan menggunakan ATMB relatif sama dengan
menggunakan Kik, yaitu menyusun benang dan menggulungnya pada ujung
ATMB (mengani). Kemudian benang yang diani direntangkan menjadi benang longsi, dan ditarik ke pangkal dengan terlebih dahulu disisipkan menggunakan gun (karap), dan sisir besi.
Proses menghani benang tenun
Kemudian pangkal gabungan benang diikatkan pada paku penggulung. Selanjutnya, benang pakan dimasukkan dari sisi kiri dan kanan melalui sebuah torak (teropong), yang di dalamnya terdapat peleting (gulungan benang). Lalu, sisir besi dihentakkan kearah penenun (melantak), sehingga terbentuk sebuah garis kain baru dari hasil persilangan dua benang longsen dan pakan.
Demikian seterusnya hingga menjadi selembar kain yang direncanakan.
Pembentukan motif biasanya dilakukan bersamaan dengan proses menenun,
yaitu dengan menyisipkan benang emas di antara benang lonsen yang ada. Proses ini disebut memungut.
Proses membuat motif (memungut)
3. Pendistribusian
Setelah
tenunan selesai dibuat, ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu
tenunan yang dihasilkan dijual langsung, dan atau dibuat produk baru
terlebih dahulu sebelum didistribusikan, misalnya dijadikan tas,
taplak meja, dan lain sebagainya. Pada zaman dahulu, pendistribusian
tenunan masih dilakukan dengan sangat sederhana atau bahkan sengaja
dibuat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya untuk
melaksanakan ritual adat. Saat ini pendistribusian telah dilakukan
menggunakan sistim modern dengan banyak memanfaatkan media yang
canggih.
D. Motif dan Corak Tenunan
Tenun Siak memiliki motif dan corak yang relatif banyak. Motif
dan corak Tenun Siak merupakan hasil dari stilirisasi flora, fauna,
dan alam sekitar. Proses stilirisasi terhadap apa yang dilihat di
lingkungan sekitar menunjukkan betapa para pengrajin Tenun Siak tidak
saja memiliki pemahaman mendalam terhadap alam sekitarnya, tetapi juga
imajinasi yang tinggi untuk melukiskan apa yang dipahaminya dalam
selembar tenunan. Dalam “Khazanah Kerajinan Riau” (Dekranasda Riau,
2008: 16-17) disebutkan beberapa motif dan corak Tenun Siak, antara
lain:
a. Hasil dari stilirisasi flora (tumbuh-tumbuhan).
|
|
|
b. Hasil dari stilirisasi fauna (hewan).
|
|
c. Hasil dari stilirisasi alam sekitar.
|
|
Dalam
pemanfaatannya, beragam motif di atas biasanya digunakan secara
kombinasi, yaitu dengan menggabungkan beberapa motif. Dari hasil
kombinasi tersebut, dihasilkan beragam motif baru yang unik dan
menarik, seperti:
E. Nilai-nilai
Tenun
Siak merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang dipahami dan
dihayati oleh masyarakat Siak, Provinsi Riau. Oleh karenanya, dengan
memperhatikan, membaca, dan memahami corak dan motif Tenun Siak, kita
akan mengetahui nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut, di
antaranya adalah nilai sakral, pengabdian, pemahaman terhadap alam,
kreatifitas, inklusifitas, dan nilai ekonomis.
Pertama,
nilai sakral. Tenun Siak merupakan salah satu perlengkapan dari
pelaksanaan ritual adat dan keagamaan masyarakat Siak, seperti ritual
penobatan sultan, temu adat, dan ritual perkawinan. Sebagai pelengkap
ritual adat dan keagamaan, maka Tenun Siak baik secara implisit maupun
eksplisit merupakan pengejawantahan dari keyakinan masyarakat Siak.
Kedua, nilai
pengabdian. Pada awalnya, para pengrajin tenun membuat tenunan ini
tenunan sebagai persembahan untuk sultan. Sebagai persembahan kepada
sultan, proses pembuatan tenunan ini dilakukan dengan hati-hati, dan
penuh kecermatan sehingga menghasilkan tenunan yang bermutu tinggi.
Dengan kata lain, keindahan Tenun Siak merupakan manifestasi dari
pengabdian sang penenun kepada sultannya.
Ketiga,
nilai pemahaman terhadap alam. Corak dan motif Tenun Siak merupakan
refleksi pemahaman masyarakat Siak kepada alam sekitarnya. Para
pengrajin melukiskan alam yang dia lihat, baik berupa flora, fauna,
maupun fenomena kealaman lainnya pada selembar kain tenun. Dengan
melihat dan mempelajari motif Tenun Siak, kita tidak saja akan
mengetahui keaneka ragaman lingkungan alam Siak, tetapi juga kosmologi
masyarakat Siak.
Keempat,
nilai kreatifitas dan ketekunan. Ragam hias dan motif pada Tenun Siak
merupakan bukti dari kreativitas imajinasi masyarakat Siak. Mereka
menghayati alam dan ”melukiskannya” dalam selembar kain. Proses
memindahkan ”lukisan” alam ke dalam selembar kain memerlukan daya
kreatif yang tingi, ketekunan, dan daya imajinasi yang kuat. Tanpa
ketiga hal tersebut, mustahil akan lahir Tenun Siak, sebuah karya seni
yang bermutu tinggi
Kelima,
nilai ekonomi. Dalam paradigma ekonomi kreatif, maka kreatifitas
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Harus disadari bahwa Tenun Siak tidak
saja memiliki nilai kultural, tetapi juga nilai ekonomis tingi. Jika
telah ada kesadaran ini, maka Tenun Siak dapat menjadi sumber
penghidupan. Jika tenunan ini telah menjadi sumber penghidupan, maka
dengan sendirinya masyarakat akan tertarik untuk mengembangkannya,
sehingga proses pelestarian akan terus berjalan.
F. Penutup
Tenun
Siak merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini, hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat Siak. Tenunan ini juga menjadi
media untuk mewariskan nilai-nilai tersebut, sehingga dapat menjadi
landasan generasi sesudahnya untuk hidup dan membangun kebudayaan yang
lebih baik tanpa tercerabut dari akar lokalitasnya.
Ahmad Salehudin (bdy/49/XII/2009)
Kredit Foto:
- Dekranasda Riau. 2008. Khazanah Kerajinan Melayu Riau. Yogyakarta: Dekranasda Riau bekerjasama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
[1]
Selain data yang menyebutkan bahwa Tenun Siak telah ada pada 1784,
Yusmar Yusuf dalam tulisannya “Dari Kapas Menjadi Benang, Benang
Dirajut Menjadi Kain, menyebutkan bahwa Tenun Siak telah ada pada tahun
1764, yaitu ketika Kesultanan Siak dipimpin oleh Sultan Assyaidis
Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Adanya dua data tentang awal
keberadaan Tenun Siak, yaitu 1764 dan 1784, merupakan hal yang sering
dijumpai ketika melakukan pembahasan terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan silsilah kerajaan-kerajaan Nusantara. Dua data awal keberadaan
Tenun Siak tersebut tidak perlu diperdebatkan, tetapi dapat ditafsiri
bahwa 1764 sebagai awal masuknya tenunan ini ke Kesultanan Siak, dan
1784 merupakan masa ketika tenunan ini telah menjadi tenunan khas
Kesultanan Siak.
[2]
Masajo adalah salah seorang pengrajin sejati Tenun Siak. Sejak umur 5
tahun hingga ajal menjemput sekitar umur 80 tahun, dia mengabdikan
hidupnya untuk Tenun Siak. Berkat loyalitas dan dedikasinya untuk
melestarikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan Tenun Siak, Masajo
terpilih menjadi salah satu tokoh perempuan Riau. Namanya bersama 17
tokoh perempuan Riau tercatat dalam buku “Mutiara yang Terjaring
(2007)” yang diterbitkan Pusdatin Riau berkerjasama dengan Badan
Permberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Riau dan Balai
Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).
2 komentar:
gua disuruh buat buku melayu, gua ambil dr blok ini, bermanfaat banget bagi gua thanks ya :*
ZZ.EEADDEFFEEUIIOOJJIOKKDDEESSERFFEEAAACCVV.CCUIIIJJIIOOKKIIEERREEFFEESSEECC.MMKK
Posting Komentar