Home » , » Sastra Melayu

Sastra Melayu

Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam
  Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang
  Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus
  Dengan segores kalam jadi tersarung
(Raja Ali Haji, dalam Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin)
Kata pena akulah raja ini dunia
  Siapa yang mengambil aku dengan tangannya
  Akan kusampaikan kerjanya

 
(Syair Persia, yang dikutip Raja Ali Haji dalam
Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin)



Kesusastraan
Kita membutuhkan beberapa definisi dasar dalam membicarakan Kesusastraan Melayu. Definisi adalah hal yang sangat peka dan rentan karena selalu berubah menurut konteks, zaman ketika ia digunakan, dan kepentingan serta tujuan orang yang menggunakannya. Namun, setidaknya ada definisi yang cukup kokoh sehingga dapat digunakan sebagai pijakan awal. Uraian tentang etimologi dan perkembangan istilah kesusastraan berikut ini sebagian besar disarikan dari buku penting karya Harun Mat Piah et.al. yang berjudul Traditional Malay Literature (Kuala Lumpur, 2002) dan beberapa buku lain yang berkaitan dengan tema ini.
Istilah “kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia mengandung makna yang sama dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Etimologi, pembentukan dan perubahan referensinya juga melalui jalur yang sama. Kata “literature” dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata “literatura” dalam bahasa Latin, yang diturunkan dari kata “litera” yang berarti huruf/abjad alfabet tunggal. Dalam bentuk aslinya, “literatura” merupakan terjemahan bagi istilah “grammatika” dalam bahasa Yunani, yang diturunkan dari “gramma”, yang artinya sebuah huruf tunggal. Istilah “literature” pertama kali diterapkan pada tata bahasa (grammar) dan puisi. Seorang “literatus” adalah orang yang tahu tentang tata bahasa dan puisi. Dalam penggunaannya secara modern di Eropa, “literature” merujuk bukan hanya pada tata bahasa dan puisi; ia juga merujuk pada semua yang tertulis, termasuk bentuk-bentuk ucapan yang tertulis. Walaupun demikian, seiring perkembangannya dalam berbagai macam bahasa di Eropa, istilah-istilah lain pun ditetapkan untuk membedakan tipe-tipe tulisan yang beragam. Misalnya, dalam bahasa Jerman, “scrifftum” merujuk pada semua bahan yang tertulis, sementara “dichtung” terbatas pada fiksi, esai, dan tulisan imajinatif, yang dianggap memiliki nilai kreatif, artistik, dan estetis. Dalam bahasa Belanda, “letterkunde” digunakan untuk menerjemahkan pengertian umum yang sama dengan “dichtung”, sementara “literature” digunakan untuk bahan-bahan yang tersimpan di dalam perpustakaan, esai atau bahkan buku-buku akademik, sebagaimana “literatuur” dalam bahasa Jerman. Hal yang sama terdapat juga dalam bahasa Perancis: istilah “belle-lettres” digunakan dengan referensi spesifik pada tulisan yang memiliki nilai estetik. Istilah ini juga dipinjam oleh bahasa Inggris, dan merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai kreatif, imajinatif, dan estetik. Dengan kata lain, ia digunakan untuk merujuk pada karya-karya yang secara umum cenderung dipandang sebagai “sastra” yang sebenarnya.
Selanjutnya, Mat Piah et.al. (2002: 2) menerangkan bahwa “Kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia diturunkan dari kata “sastra” dalam bahasa Sansekerta. Kata dasar “sas-”adalah kata kerja, yang berarti menunjukkan, mengajarkan, membimbing atau memberikan perintah. Akhiran “-tra” secara umum merujuk pada alat atau perkakas untuk melakukan sesuatu. Jadi, “sastra” mengandung makna alat untuk memberikan instruksi, buku bimbingan, buku rujukan atau buku teks. “Silpasastra”, misalnya, merujuk pada buku tentang arsitektur. “Kavyasastra” tentang puisi (“kavi”); dan “Kamasastra” tentang seni bercinta. A. Teeuw (1984: 22-23) menegaskan bahwa kata “sastra” (atau “sastera”) menurunkan kata “susastra” (atau “susastera”). Prefiks “su-” juga merupakan kata dalam bahasa Sansekerta; yang mengandung makna baik atau indah. Dengan demikian, “susastra” memiliki makna yang sama dengan “belle-lettres” dalam bahasa Perancis dan “dichtung” dalam bahasa Jerman. Istilah ini merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai estetik. Istilah ini ditemukan juga dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa, yang memberikan petunjuk bahwa kata ini berasal dari periode akhir dalam perkembangan bahasa-bahasa di kepulauan Asia Tenggara, atau ”Nusantara”.
Jelaslah bahwa “kesusastraan” diturunkan dari “sastra” dalam bahasa Sansekerta yang telah mendapatkan prefiks “su”. Afiks “ke-” dan “-an”, yang ditempatkan pada awal dan akhir kata tersebut, memberikan pengertian abstrak tentang keutuhan dan kesatuan. “Kesusastraan” merujuk pada teks-teks tertulis yang memiliki nilai artistik atau estetik dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan, arahan, dan instruksi.
Dengan demikian, “kesusastraan” (“literature”) dapat diartikan menurut penggunaannya secara modern di Eropa dan digunakan untuk merujuk pada teks yang tertulis.
Namun, dalam penggunaannya di Eropa, “literature” cenderung merujuk hanya pada teks tertulis dan tidak memberikan tempat bagi kesusastraan lisan, yang tentu saja menjadikan cakupan istilah ini sangat terbatas. Istilah “kesusastraan” akan lebih baik jika mencakup kesusastraan rakyat (folk literature) dan kesusastraan oral atau lisan. Namun, harus diingat pula bahwa istilah “kesusastraan lisan” sendiri terlalu sempit dan membingungkan: “lisan” berkaitan dengan bahan yang tak tertulis, sedangkan “kesusastraan” berkaitan dengan semua yang tertulis (Muhammad dalam Mat Piah et.al., 2002: 4). Muhammad Haji Saleh (2000) menelusuri perkembangan istilah kesusastraan yang dimulai dari istilah “susastra” dalam bahasa Sanskerta. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Saleh menemukan bahwa kesusastraan dapat berarti:
Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki pelbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan isi dan ungkapannya; ragam sastra yang umum dikenali ialah roman, cerita pendek, drama, epik, dan lirik hasil seni dalam bentuk prosa dan puisi. (Saleh, 2000: 13-14)
Namun, makna istilah kesusatraan yang dikenal pada masa modern baru mulai berkembang pada dekade 1930-an, dengan diperkenalkannya makna baru ini oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam ruangan “Memajukan Kesusastraan” di majalah Panji Pustaka dan kemudian diteruskan pada 1933 dalam majalah Pujangga Baru. Pujangga Baru sendiri secara terbuka membubuhkan moto yang berbunyi “Majalah Kesusasteraan dan Bahasa dan Kebudayaan Umum”. Menurut Saleh (Saleh, 2000: 14-15), makna yang hampir serupa digunakan juga oleh L.K. Bohang ketika mengkritik puisi Amir Hamzah, penyair senior J.E. Tatengkeng dalam salah satu esainya, dan terus digunakan dalam Pokok dan Tokoh (Teeuw, 1951) serta Beberapa Pahaman Angkatan ‘45 karya Aoh K. Hadimadja.
Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan istilah-istilah lain yang terkait dengan kesusastraan Melayu, yaitu “pustaka” atau “pestaka (library), “karangan” (gubahan), dan “ikat-ikatan”. Dalam bahasa Sansketera, pustaka adalah istilah umum yang merujuk pada buku. Namun, dalam bahasa Melayu klasik, pustaka atau pestaka biasanya digunakan untuk merujuk pada kutukan, hujatan, mantera sihir, dan guna-guna atau jampi-jampi. Frase “membuka pustaka” di dalam beberapa hikayat merujuk pada perapalan suatu mantera atau guna-guna atau membuka sebuah kitab istimewa untuk meramal. Namun, pengertian yang sampai sekarang masih bertahan dalam bahasa Melayu (dan juga dalam bahasa Indonesia) masih mencakup pengertian tentang buku, baik dalam daftar buku-buku tentang sebuah pokok bahasan yang khusus (“kepustakaan”, atau bibliografi) maupun himpunan buku (“perpustakaan”, yang juga berarti perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku (Teeuw, 1984: 21-24).
Mat Piah et.al. (2002: 3) menjelaskan bahwa istilah “karangan” merujuk pada sebuah karya tulis yang indah atau tulisan yang mempunyai nilai sastrawi. Istilah ini juga dapat bermakna “komposisi” atau “esai” (kata kerja “karang” sendiri mengandung pengertian menyusun sesuatu, misalnya bunga atau manik-manik, dengan cara yang indah). Istilah ini juga diterapkan bagi kesusastraan secara keseluruhan. Istilah “karangan” juga menurunkan beberapa istilah lain, misalnya, “karangan berangkap”. Sedangkan Saleh (2000: 15-16) menerangkan bahwa istilah persuratan yang merujuk pada makna yang sama dengan “kesusastraan banyak digunakan di Malaysia sebelum Perang Dunia II, terutama oleh Za‘ba ketika menulis buku-buku bahasanya di Maktab Perguruan Sultan Idris dan sewaktu menjabat sebagai Ketua Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Singapura. Sejak akhir 1950-an, istilah “karangan” dan “persuratan” digunakan secara bergantian.
MelayuOnline.com akan menggunakan istilah “kesusastraan” untuk merujuk pada semua bentuk ekspresi bahasa yang memiliki struktur, termasuk yang berbentuk oral atau lisan. Istilah “kesusastraan” dapat merujuk pada semua bentuk ekspresi verbal, baik yang tertulis maupun lisan. Istilah ini mencakup juga semua teks yang estetis, yang diniatkan untuk dinikmati melalui kegiatan menyimak atau membaca.
Dalam penulisannya, “kesusastraan” sering pula ditulis sebagai “kesusasteraan” (dengan “e”). Namun perbedaan ini tidak signifikan karena hanya disebabkan oleh perbedaan konvensi penulisan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu/Malaysia. Sehingga, kedua cara penulisan tersebut dapat digunakan secara bergantian dengan referensi dan makna yang sama.
Bahasa Melayu
Kriteria yang fundamental dalam kesusastraan adalah kriteria linguistik. Dengan demikian, kedudukan penting bahasa Melayu dalam Kesusastraan Melayu tak terelakkan. Setiap teks dalam Kesusastraan Melayu merupakan teks yang telah dilisankan, disalin ulang atau ditulis dalam bahasa Melayu, tanpa memperhitungkan perbedaan lokasi fisik, geografi atau perbatasan politik yang mungkin saja dapat menghasilkan dialek dan isolek yang berbeda-beda.
Noriah Mohamed (2000: 41-43) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil kajian perbandingan dalam linguistik sejarah dan perbandingan, bahasa Melayu dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang diberi nama rumpun Austronesia (rumpun bahasa-bahasa di pulau selatan). Bahasa-bahasa dalam rumpun bahasa ini tersebar luas dari Formosa di utara ke New Zealand di selatan dan dari Madagaskar di barat ke kepulauan Paskah di timur. Sedangkan menurut nasabnya, rumpun bahasa Austronesia, bersama dengan rumpun bahasa Austroasia, diturunkan dari Filum bahasa Austrik. Rumpun bahasa Austronesia ini kemudian menurunkan rumpun Austronesia Barat (meliputi keluarga bahasa Indonesia) dan rumpun Austronesia timur (meliputi keluarga bahasa Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia). Bahasa Melayu merupakan subkeluarga Indonesia Pusat, bersama dengan bahasa Bumiputera di Serawak (kecuali bahasa Bisayah), bahasa-bahasa di Kalimantan, dan bahasa-bahasa di Kepulauan Indonesia. Perpisahan keluarga bahasa Indonesia Pusat dianggap terjadi pada masa Deutero Melayu, kurang lebih 1500 SM. James T Collins (2004: 4-5) menguraikan bahwa sebagian besar ahli terkemuka dalam bidang arkeologi Austronesia dan linguistik menyepakati bahwa tempat asal bahasa Melayu adalah Kalimantan Barat. Tipologi daerah ini didominasi perairan sehingga komunitas penutur bahasa Melayu di daerah ini memiliki teknologi transportasi air yang memungkinkan mereka untuk mulai menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Riau, pulau Bangka, pulau Belitung, Pulau Luzon, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaysia.
Bukti tertulis yang paling tua tentang keberadaan bahasa Melayu adalah Prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari abad ke-7 M (682 M) (UU. Hamidy, 1998: 9)). Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Tatang, salah satu anak sungai Musi di Palembang, Sumatra Selatan. Bahasa Melayu yang tergurat pada prasasti ini sering disebut sebagai bahasa Melayu Kuno. Kata-katanya ditulis dengan aksara Palawa yang dipinjam dari India dan sudah sulit untuk dipahami lagi oleh orang Melayu modern. Bahasa Melayu Kuno ini sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta, yang merupakan lingua franca dalam agama Hindu dan Buddha. Prasasti ini menyebutkan tentang kerajaan Sriwijaya, kerajaan besar pertama yang sering dianggap sebagai kerajaan nasional Indonesia yang pertama. Sedangkan Batu Bersurat Terengganu (1303) yang ditemukan di Terengganu menjadi bukti bahwa bahasa Melayu telah berkembang dan mengenal jenis tulisan lain sebelum berjaya pada masa Kesultanan Malaka. Bahasa Melayu yang tergurat pada prasasti ini sering juga disebut sebagai bahasa Melayu Modern awal (Mohamed, 2000: 43). Kata-katanya ditulis dengan menggunakan huruf Jawi. Inilah jenis huruf yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu secara utuh dan sistematis serta dapat dipelajari hingga sekarang.
Bahasa Melayu berkembang pesat pada masa kejayaan Kesultanan Malaka (1402-1511) setelah menerima pengaruh dari kesusastraan Islam. Kosakata bahasa Melayu berubah oleh melimpahnya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab, Persia, dan Hindi. Selain itu, bahasa Melayu ini, yang sering disebut sebagai bahasa Melayu Klasik (Mohamed, 2000: 77), juga menghasilkan kesusastraan tertulis yang kini menjadi karya-karya klasik. Bahasa Melayu juga menjadi bahasa lingua franca yang digunakan sebagai alat komunikasi, terutama dalam perdagangan, di antara bangsa-bangsa di Gugus Pulau-pulau Melayu.
Setelah kedatangan bangsa-bangsa Barat, bahasa Melayu tetap menjadi lingua franca. Perbendaharaan kosakata bahasa Melayu juga semakin berkembang dengan serapan kata-kata dari berbagai bahasa lain, yaitu Tionghoa, Portugis, Inggris dan Belanda, karena tingginya intensitas interaksi di antara berbagai kepentingan ekonomi yang beroperasi di Asia Tenggara. Selain itu, bahasa Melayu juga menempati kedudukan yang tinggi karena menjadi bahasa yang digunakan dalam perhubungan resmi-legal antarbangsa, seperti yang terlihat ketika penguasa Spanyol di Filipina mengirim surat berbahasa Melayu kepada sultan Brunei untuk meminta bantuan (Collins, 2005: 31). Pada periode ini, bahasa Melayu juga memperoleh fungsi baru, yaitu sebagai sarana penyebaran agama Kristen, dengan dicetaknya sebuah buku berjudul SOVRAT A B C. Buku yang dicetak di Amsterdam pada 1611 ini adalah buku pertama bahasa Melayu yang khusus dibuat untuk orang Melayu dan dimaksudkan untuk mengajarkan bagian dasar Kristen Calvinistic kepada budak dan pelayan yang masih muda yang berbicara dalam bahasa Melayu, termasuk Sepuluh Perintah Allah, Pasal Keimanan, dan beberapa doa (Collins, 2005: 55).
Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Melayu dipengaruhi oleh kekuasaan politik imperial dan kolonial karena menjadi bagian dari skema dominasi dan kontrol politis-administratif atas rakyat jajahan. Pada masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda di Indonesia, bahasa Melayu dialek Riau dijadikan sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Belanda pada 1871 dan disistematiskan oleh van Ophuijsen pada 1910 (Hamidy, 1998: 18). Di belahan utara kawasan Melayu, yang terdiri dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa administratif kedua setelah bahasa Inggris. Akibatnya, bahasa Melayu yang ada di belahan utara mengalami perkembangan yang berbeda dari bahasa Melayu yang berkembang di belahan selatan (Indonesia). Bahasa Melayu di Indonesia, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, semakin berbeda dari bahasa Melayu di belahan utara setelah menyerap lagi perbendaharaan kata bahasa daerah, terutama bahasa Jawa (Hamidy, 1998: 14). Namun, selain bahasa Melayu yang disistematiskan oleh penguasa resmi, bangsa Melayu di berbagai daerah juga mengembangkan ragam, dialek, dan isolek di lokasi-lokasi geografis yang berbeda-beda. Di Hindia Belanda, misalnya, berkembang bahasa Melayu Pasar yang digunakan terutama dalam perdagangan yang didominasi oleh etnis Tionghoa (ragam bahasa yang kemudian sering juga disebut sebagai bahasa Melayu Tionghoa).
Setelah Perang Dunia II, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, persatuan, resmi, dan kenegaraan, dengan kedudukan dan sebutan yang berbeda-beda di kawasan utama persebaran bahasa Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Di Indonesia, ragam bahasa Melayu yang telah disistematisasikan oleh Balai Pustaka disebut sebagai bahasa Indonesia dan ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Di Brunei Darussalam, sebagaimana yang ditetapkan dalam Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei 1959, bahasa Melayu tetap disebut sebagai Bahasa Melayu (Haji Hashim Haji Abdul Hamid, 1994: 223). Ketika Singapura terpisah dari Malaysia pada 1965, bahasa Melayu dijadikan bahasa kebangsaan Singapura dan salah satu daripada empat bahasa resmi negara tersebut (Abdul Rashid Melebek & Amat Juhari Moain, 2006: 34). Setelah kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957, bahasa Melayu tetap disebut sebagai bahasa Melayu dan dan ditetapkan sebagai bahasa nasional dalam Artikel 152 Perlembagaan Malaysia (Maman S. Mahayana, 1995: 7). Sejak 16 Agustus 1972, setelah ditetapkannya Sistem Ejaan Baru, bahasa Melayu di Malaysia disebut sebagai Bahasa Malaysia.
Kesusastraan Melayu
Kesusastraan Melayu” dapat didefinisikan sebagai “himpunan hasil-hasil sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai mediumnya, yang berwujud tulisan maupun lisan, dan hidup serta berkembang di kawasan persebaran bangsa, budaya, dan bahasa Melayu”.
Karena persebaran bangsa, budaya, dan bahasa Melayu tersebut dipengaruhi oleh proses sejarah—baik pada zaman pra-kolonial, kolonial, maupun pascakolonial—maka kesusastraan Melayu pun berkembang sesuai dengan perubahan sosio-kultural yang terjadi pada masyarakat penyangganya, termasuk di dalamnya lokasi spesifik tempat suatu teks diciptakan. Lokasi spesifik ini patut dipertimbangkan karena dengan adanya batas-batas geopolitik di wilayah Asia Tenggara, dapat dikatakan bahwa Kesusastraan Melayu mengalami “perpecahan”. Hasil-hasil Kesusastraan Melayu mengalami lokalisasi, atau nasionalisasi, sesuai dengan batas-batas administratif-politik negara nasional. Pada sastra Melayu Tradisional/Lama/Klasik, “keterpecahan” itu tidak begitu kentara atau bahkan dapat dikatakan tidak ada. “Keterpecahan” itu baru terlihat dengan lebih jelas setelah munculnya bentuk-bentuk sastra modern, yang antara lain ditandai oleh penerbitan bahan bacaan oleh badan-badan literasi bentukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) dan Malaysia—dua lokasi utama persebaran bangsa, budaya dan bahasa Melayu.
“Keterpecahan” itu terlanjur menimbulkan “kebingungan” di kalangan ilmuwan dan sejarawan sastra. Misalnya, walaupun terpisah oleh batas-batas politik nasional pascakemerdekaan RI, namun publik sastra Indonesia dan Malaysia sama-sama mengakui bahwa pelopor kesusastraan Melayu baru, yang kemudian berkembang menjadi kesusastraan Indonesia modern dan kesusastraan nasional Malaysia, adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, sementara yang dianggap sebagai “Bapak Kesusastraan Melayu” adalah Raji Ali Haji, penggubah gurindam terkenal Gurindam Dua Belas (Mahayana, 1995: 152-160).
Namun, ketika penyusunan periodisasi yang memasuki masa “modern” (dalam pengertian telah menerima pengaruh Barat secara massif) harus dilakukan secara ketat, kesulitan lain muncul. Ajip Rosidi, misalnya, menekankan perlunya pembedaan antara istilah-istilah “Melayu”, “Nusantara”, dan “Indonesia” ketika dikaitkan dengan kesusastraan Indonesia. Menurut Ajip Rosidi (1973: 22-23), jika asas nasionalisme yang dipakai dalam penyusunan periodisasi sastra Indonesia, sebagaimana yang diterapkan dalam periodisasi sastra Indonesia oleh Nugroho Notosusanto, maka istilah “Sastra Melayu Lama” tidak tepat. Istilah yang seharusnya digunakan adalah “Sastra Indonesia Klasik”, yang tidak hanya meliputi karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa (daerah) Melayu saja, melainkan dalam semua bahasa (daerah) yang terdapat di seluruh kepulauan Nusantara, sehingga namanya pun lebih tepat disebut sebagai “Sastra Nusantara Klasik”. Artinya, ke dalamnya termasuk sastra Jawa, Bali, Aceh, Makassar, Bugis, dan lain-lain yang klasik.
Kehidupan dan perkembangan Kesusastraan Melayu sejak masa lampau hingga saat ini masih terus berlangsung. Untuk memudahkan apresiasi dan uraian yang berkaitan dengan Kesusastraan Melayu, MelayuOnline.com mengklasifikasikannya menjadi dua kategori, yaitu Kesusastraan Melayu Tradisional dan Kesusastraan Melayu Modern tanpa menerapkan klasifikasi berdasarkan batas-batas geografis yang ditentukan oleh negara nasional (kecuali untuk subgenre cerita rakyat, yang tetap diklasifikasi berdasarkan geografi, karena dianggap lebih memudahkan navigasi situs). Dengan demikian, kesusastraan Melayu secara umum dipandang sebagai lanskap luas artefak dan proses budaya yang terus berlangsung namun sedapat mungkin dibebaskan dari batas-batas politik. MelayuOnline.com juga melakukan pembahasan singkat tentang latar belakang sejarah Kesusastraan Melayu.
(An. Ismanto/08/08-09)
______________
Referensi
  • Collins, James T., 2005. Bahasa Melayu bahasa dunia: sejarah singkat. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Alma Evita Almanar. Jakarta: KITLV, Pusat Bahasa, dan Yayasan Obor Indonesia.
  • Hamid, Haji Hashim Haji Abdul, 1994. Melayu Islam Beraja Suatu kesinambungan sejarah Brunei. Dalam: Awang Haji Muhammad Bin Abdulk Latif et.al. ed. 1994. Brunei di tengah-tengah Nusantara. Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah Kebudayaan Belia dan Sukan, hal. 219-227.
  • Hamidy, UU., 1998. Dari bahasa Melayu sampai bahasa Indonesia. Cet. 2. Pekanbaru: Universitas Lancang Kuning Press.
  • Mahayana, Maman S., 1994. Kesusastraan Malaysia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Mat Piah, Harun, et.al., 2002. Traditional Malay Literature. Diterjemahkan dari bahasa Malaysia ke dalam Bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • Melebek, Abdul Rashid & Moain, Amat Juhari, 2006. Sejarah bahasa Melayu. Singapura: Utusan Publications.
  • Mohamed, Noriah, 2000. Sejarah sosiolinguistik bahasa Melayu Lama. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia.
  • Rosidi, Ajip, 1973. Masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Saleh, Muhammad Haji, 2000. Puitika sastra Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  • Teeuw, A., 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Putri Pakning

0 komentar:

Posting Komentar

 
My Blog : Boedak Begajol | Budaya Bangsa | Hacker Pakning
Copyright © 2011. Melayu Tolen - All Rights Reserved