Penduduk paling awal di Kepulauan Nusantara adalah dua spesies manusia purba yang tergolong sebagai Proto homonoid. Mereka muncul pada masa prasejarah yang sangat jauh, yakni masa Pleistosen atau Zaman Es.
Manusia Purba yang pertama, Homo habilis,
hidup pada masa Pleistosen Awal, sekitar 2,5 juta hingga 2 juta tahun
yang lalu. Pencapaian kebudayaannya—jika memang bisa dikatakan
demikian—masih sangat rendah. Volume otak manusia Purba ini masih
sangat kecil, walaupun tentu telah lebih besar daripada volume otak
primata. Ia belum bisa membedakan dirinya secara tegas dari para
penghuni alam semesta lain di sekitarnya. Mungkin ia masih hidup mirip
binatang, hanya memiliki gagasan yang paling sederhana tentang alat
untuk membantu penghidupan, dan mungkin sekali ia sangat gemar melahap
daging sesama manusia prasejarah.
Homo erectus
Kira-kira
antara tahun 600 ribu dan 12.000 SM, Asia Tenggara agak terpisah dari
benua Asia, mungkin karena terpasung lingkaran es. Gugusan Pulau-pulau
Melayu juga terpisah dari daratan Asia, tetapi semakin menyatu dengan
Semenanjung Melayu setiap kali permukaan Laut Cina menurun ketika
terjadi pembekuan es (Bernard Phillipe Groslier, 2007:37).
Kira-kira
pada saat inilah, yang dinamakan sebagai masa Pleistosen Pertengahan,
muncul manusia Purba yang agak lebih maju baik fisik maupun
kebudayaannya, yaitu Homo erectus. Manusia purba jenis ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari Homo habilis.
Homo erectus dipastikan pernah hidup di Jawa karena fosil Homo erectus yang berusia sekitar 200 ribu hingga 800 ribu tahun ditemukan di Ngandong, Solo, dan diberi nama Homo soloensis. Sedangkan dua fosil Homo erectus yang berusia sekitar 670 ribu juga telah ditemukan di Sangiran dan Mojokerto dan keduanya dinamakan sebagai Homo mojokertensis (Noriah Mohamed, 2000:7).
Homo erectus
mungkin telah cukup pintar sehingga mengerti bahwa dengan tinggal di
gua-gua, mereka terlindung bukan saja dari hujan dan panas tetapi juga
dari sesama mereka yang kanibal. Mereka juga mampu memanipulasi batu
menjadi berbagai peralatan untuk berburu atau menghadapi ancaman dari
hewan-hewan buas.
Zaman
ketika berbagai peralatan dari batu itu dibuat sering disebut sebagai
Zaman Paleolitik atau Zaman Batu Tua. Peralatan tersebut berupa
lempengan atau batu yang diasah pada satu sisi dan mungkin dapat disebut
sebagai “pisau” atau “kapak”. Sisa-sisa budaya pembuatan peralatan
batu ini telah ditemukan di situs Anyathya, Birma, dan situs Kota
Tampan di Perak, Malaysia (Groslier, 2007:39).
Mungkin manusia prasejarah Homo erectus selanjutnya berkembang secara perlahan dan menurunkan Homo sapiens,
manusia prasejarah yang telah memiliki ciri manusia modern. Pusat
perkembangan ini bisa jadi adalah Jawa dan Sumatra, karena perkembangan
kebudayaan di kedua pulau itu sangat menonjol jika dibandingkan dengan
tempat-tempat lain di kawasan yang selanjutnya dikenal sebagai
Nusantara (Mohamed, 2000:14-15).
Homo sapiens
Persebaran berbagai Homo sapiens
ke berbagai kawasan nusantara dimungkinkan karena sejak masa Pliosen
(kira-kira 5 juta hingga 1,7 juta tahun yang lalu) kawasan ini belum
terpisah-pisah oleh lautan dan terbentang di atas daratan luas yang
disebut sebagai dataran Sunda, yang sebelah timurnya berbatasan dengan
dataran Sahul atau kawasan yang sekarang menjadi New Guinea dan
Australia. Jadi, ketika manusia prasejarah muncul pada masa-masa
selanjutnya, persebarannya dari pusat-pusat kebudayaan itu dapat
dilakukan dengan cukup mudah, yaitu dengan berjalan kaki. Ketika es
mencair pada akhir masa Pleistosen, dataran Sunda dan dataran Sahul
tenggelam oleh air laut. Penenggelaman ini menyebabkan Homo sapiens itu bermigrasi dari kawasan tanah asal ke kawasan baru yang tidak digenangi air (Mohamed, 2000:15).
Tetapi mungkin juga manusia prasejarah Proto homonoid
tidak menjadikan kawasan Nusantara sebagai kawasan perkembangan mereka
dan mereka pupus karena sebab-sebab yang tidak pasti (Mohamed,
2000:9). Homo sapiens yang kemudian berkembang di kawasan
nusantara mungkin datang dari luar kawasan ini, mungkin bagian selatan
Cina, Indocina, Champa, Kochin, atau Assam.
Dari
tanah asal, mereka berjalan kaki ke arah selatan. Tentu saja di
sepanjang jalan mereka menghadapi rintangan baik berupa iklim dan cuaca
yang tidak bersahabat maupun dari hewan-hewan buas dan
kelompok-kelompok manusia prasejarah lain. Jalur perpindahan yang lain
mungkin melalui air yang ditempuh dengan rakit dan perahu. Sebab-sebab
perpindahan mereka bisa jadi adalah banjir atau gempa bumi (Mohamed,
2000:14). Perpindahan Homo sapiens tersebut dilakukan secara berkelompok, bukan serentak, sehingga jalan yang mereka tempuh tentu berbeda-beda.
Orang Melayu Proto
Siapapun pendahulunya atau dari mana tanah asalnya, Homo sapiens
yang berkembang di kawasan Nusantara dan telah memiliki ciri-ciri
manusia modern sebagaimana yang kita kenal adalah adalah nenek moyang
kelompok manusia yang kini dikenal sebagai orang Melayu Proto.
Homo sapiens
diperkirakan telah mendiami semua benua. Bentuk fisiknya sudah cukup
dapat dipakai untuk produksi suara dalam bertutur karena struktur
mulut, hidung, kerongkongan, tenggorokan, dan dasar tengkorak sudah
berkembang (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1993:14). Kelompok Homo sapiens dan keturunan pertamanya, orang
Melayu Proto, membangun kebudayaan yang lebih maju daripada para
pendahulunya. Kebudayaan ini disebut kebudayaan Mesolitik atau Zaman
Batu Pertengahan, dan dilanjutkan dengan kebudayaan Neolitik atau Zaman
Batu Baru.
Ketika
muncul kelompok manusia berikutnya, yaitu orang Melayu Deutro, yang
mungkin merupakan keturunan dari orang Melayu Proto tetapi mungkin juga
merupakan kelompok lain yang datang dari tanah asal nenek moyang kedua
kelompok orang Melayu tersebut, kebudayaan manusia di kawasan Nusantara
mulai meninggalkan jejak-jejak yang lebih jelas.
Orang Melayu Deutero/Purba
Proto homonoid dan Homo sapiens
masih hidup dengan cara berburu dalam kelompok-kelompok kecil dan
meramu makanan serta memakan daging manusia. Pada masa Mesolitik,
mungkin manusia telah mampu menggunakan api untuk memanaskan udara dan
memasak makanan, sedangkan tempat berteduh utamanya mungkin berupa gua
dan teduhan batu (Mohamed, 2000:18).
Namun,
orang Melayu Proto mungkin telah memiliki kemampuan untuk menghadapi
dan mengubah alam sekitarnya dengan menerapkan corak hidup sebagai
peladang, pelaut, atau pemburu. Mereka telah keluar dari gua dan
menerapkan kemampuan bertukang dengan membangun kelompok tempat-tempat
tinggal di tanah lapang berupa rumah panggung. Untuk memperoleh kayu
bahan rumah, mereka menebang pohon dengan menggunakan beliung batu.
Mereka
mengasah sisi batu sehingga menjadi lebih tajam dan rapi, lalu
menggunakannya untuk menajamkan buluh bambu dan dengan buluh bambu itu
mereka membuat alat penangkap ikan. Dengan kemampuan bertukang dan
peralatan itu mereka juga sudah bisa membuat perahu.
Penghidupan
mereka semakin terjamin karena mereka telah berhasil memelihara hewan
ternak seperti babi dan kerbau, dan bahkan memanipulasi tanaman pangan
dengan sistem perladangan berpindah. Dengan sistem ini, mereka menebas
hutan dan menanam pisang, keladi, ubi kayu, kelapa, tebu, dan padi.
Pencapaian
kebudayaan orang Melayu Proto dilanjutkan oleh orang Melayu Deutero.
Orang Melayu Deutero mengembangkan ilmu penanaman padi dan tanaman
pangan yang lain, memelihara hewan ternak, dan menguasai ilmu pelayaran.
Mereka juga mulai membuat berbagai peralatan dari logam. Kemampuan
mengolah campuran logam memungkinkan mereka untuk membuat berbagai
peralatan rumah tangga dan peralatan pertanian seperti bajak, membuat
perahu yang lebih besar dan rumah yang lebih kukuh, dan roda untuk
memudahkan transportasi.
Mereka
memanfaatkan hewan ternak mereka untuk membajak sawah. Selain itu,
mereka bekerjasama dengan individu-individu lain baik dari kelompok
sendiri maupun dari kelompok lain untuk menangani masalah-masalah yang
biasa dihadapi oleh pertanian yang tergantung pada musim, serta
masalah-masalah lain seperti bencana alam.
Orang
Melayu Deutero juga telah menerapkan sistem ekonomi barter. Orang yang
mempunyai hasil jagung yang lebih akan menukarkan kelebihan hasil
buminya itu dengan barang-barang yang dibuat oleh tukang logam atau
mungkin memberikan persembahan kepada orang yang lebih kuat sehingga
bisa memperoleh perlindungan.
Mereka
juga telah menerapkan pembagian kerja secara seksual. Kaum perempuan
bekerja membuat barang-barang tembikar, menenun dan memelihara ternak,
sementara kaum laki-laki berburu dan melakukan kerja-kerja fisik yang
berat.
Orang
Melayu Deutero juga mempunyai kepercayaan religius yang disebut
animisme, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan-kekauatan gaib, hantu,
benda mati, jin, jembalang, penunggu, dan sebagainya. Menurut
kepercayaan ini, benda tertentu, baik bernyawa maupun tidak bernyawa
seperti tumbuhan, hewan, air, batu, gunung, laut dan sebagainya yang
memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, adalah entitas-entitas
yang memiliki jiwa atau roh.
Maka,
jika manusia ingin menggunakan benda-benda tersebut, ia harus memohon
izin sehingga jiwa-jiwa yang ada di dalamny agar mereka tidak marah.
Permohonan izin tersebut dilakukan, misalnya, dengan mengucapkan jampi,
serapah, sembur, seru, atau mantera-mantera lain sebelum melakukan
aktivitas pertanian. Dan sebelum membuka hutan untuk diolah menjadi
ladang, orang Melayu Deutero akan memberikan persembahan berupa sesaji
dan korban kepada penunggu hutan.
Orang
Melayu Deutero mengembangkan sistem permukiman yang tertata. Mereka
membangun rumah-rumah panggung atau bangunan lain yang ditinggikan di
tepi sungai atau laut. Kumpulan dari beberapa rumah membentuk kampung
dan unit sosial ini memiliki seorang pemimpin yang dilantik secara
khusus.
Organisasi
semacam ini mungkin sangat diperlukan untuk menghadapi ancaman dari
luar. Pusat-pusat perkampungan orang Melayu Deutero biasanya memang
memiliki tempat pembuatan atau penyimpanan senjata, tetapi dengan
organisasi yang teratur, mereka menjadi lebih kuat ketika
mempertahankan diri dari serangan musuh.
Organisasi
politik mulai terwujud ketika beberapa kampung membentuk aliansi,
mungkin berdasarkan ikatan kekerabatan, persetujuan, atau pernikahan.
Aliansi itu dipimpin oleh pemimpin yang diberi gelar raja. Jika suatu
aliansi telah merasa kuat, boleh jadi raja akan memerintahkan
penyerbuan untuk menaklukkan kampung-kampung lain dan menundukkan
mereka di bawah kekuasaannya. Agen paling penting, yang memiliki
kekuatan untuk mengubah kampung-kampung yang terserak hingga menjadi
suatu entitas politik yang teratur, adalah kepala masyarakat bergelar
raja tersebut serta institusi sosial-politik yang akhirnya disebut
sebagai kerajaan (Mumford dalam Mohamed, 2000:21).
Struktur
organisasi sosial politik orang Melayu Deutero itu menjadi katalisator
internal yang mentransformasi setiap aspek kehidupan masyarakat maupun
pengaruh dari luar wilayah kerajaan. Orang Melayu Deutero menganggap
bahwa seorang raja Melayu adalah penjelmaan dari kuasa kosmos tertinggi
yang harus dihormati dan disakralkan. Dengan kekuasaannya yang absolut
itu, raja berkuasa untuk melancarkan perhubungan antarkerajaan, bahkan
juga dengan berbagai bangsa dari kerajaan di luar Nusantara, misalnya
dengan membukakan pintu bagi kerajaan dan bangsa-bangsa lain untuk
beraktivitas di wilayah kekuasaannya.
Ketika
bangsa India dan Cina mulai sering menyinggahi Semenanjung Melayu dan
sekitarnya dalam perjalanan panjang ke Cina dan sebaliknya, raja-raja
Melayu membuka pintu, menyerap berbagai pengaruh yang mengokohkan
kekuasaannya dan kebesaran kerajaannya, termasuk peminjaman dan
penyerapan aksara dari India. Dengan keterbukaan dan penyerapan
kebudayaan dari luar itu, orang Melayu memasuki fase baru dalam
evolusinya, yaitu suatu masa di mana prestasi-prestasi kebudayaannya
mulai dapat disaksikan dengan bukti-bukti kuat oleh orang-orang yang
hidup pada masa-masa selanjutnya. Namun, sebelum evolusi kebudayaan
tersebut terjadi, orang Melayu Deutero atau bisa juga disebut sebagai
orang Melayu Purba, mendasarkan inventarisasi dan eksekusi
intelektualnya pada sarana lisan.
Bahasa Melayu Purba
Orang
Melayu Purba saling bercakap dan melakukan proses pemikiran individual
dengan menggunakan bahasa Melayu Purba yang telah terlalu sulit untuk
dipahami oleh orang Melayu modern. Mereka telah pandai bermasyarakat,
jadi mereka harus mengucapkan berbagai perkara penting untuk mengurusi
organisasi mereka.
Dalam
hal ini, bahasa diperlukan untuk perhubungan dalam masyarakat yang
melibatkan hubungan yang sekecil-kecilnya, yaitu hubungan antara
individu, hingga hubungan yang sebesar-besarnya, yaitu hubungan antara
rakyat dengan pemerintah (Mohamed, 2000:44). Selain berhubungan dengan
orang-orang dari kelompok sendiri, bahasa Melayu Purba juga digunakan
dalam perhubungan dengan masyarakat luar seperti orang Cina, Arab dan
India awal yang berkunjung ke nusantara.
Penggunaan
bahasa Melayu Purba secara tertulis belum dapat dibuktikan hingga
sekarang. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh tiga kemungkinan. Pertama,
orang Melayu Purba mungkin memang belum mengenal aksara walaupun sudah
mempunyai bahasa. Kedua, catatan dalam bahasa Melayu Purba mungkin
memang sudah ada tetapi dalam bentuk gambar yang tidak konsisten
sifatnya, bukan dalam bentuk aksara. Hal ini ditunjukkan oleh penemuan
berbagai lukisan oleh Homo sapiens di gua-gua di berbagai dunia.
Tetapi lukisan-lukisan itu tidak mencatat bahasa percakapan manusia
secara sistematis, sehingga bahan-bahan tersebut tidak mewakili bentuk
bahasa tertentu. Ketiga, catatan menggunakan aksara Melayu Purba telah
ada, seperti yang tersisa dalam huruf Rencong dan Kawi. Namun,
aksara-aksara ini tidak dapat memenuhi keperluan dalam menuliskan bahasa
Melayu yang semakin berkembang. Lagipula pencatatan dilakukan dengan
bahan-bahan yang mudah lapuk dalam iklim tropis atau rentan terhadap
bencana alam (Mohamed, 2000:45-46).
Untuk
menghasilkan pertuturan lisan dengan tujuan komunikasi atau penciptaan
kesusastraan yang memerlukan ungkapan kecakapan berbahasa berulang
kali, orang Melayu Purba mungkin sekali mengandalkan teknik penghapalan.
Teknik ini hingga sekarang masih didapati pada golongan orang-orang
tua yang masih buta huruf. Sehingga, sebelum undang-undang
kemasyarakatan diciptakan, orang Melayu Purba menurunkan sarana
pengaturan masyarakat melalui hapalan kepada generasi selanjutnya.
Praktek
kebahasaan Melayu Purba tampaknya sudah cukup lama berlangsung karena
pada prasasti-prasasti awal yang berasal dari abad ke-7 M, struktur
bahasanya sudah agak tersusun. Dengan demikian, corak utama komunikasi
dan estetifikasi bahasawi Melayu Purba adalah lisan. Corak bahasa lisan
adalah bahasa manusia (bahasa alamiah) yang disampaikan dengan
menggunakan alat-alat bicara atau alat-alat artikulasi yang ada pada
manusia, sehingga sifatnya berbeda dari bahasa tulis (B.H. Hoed,
2008:183).
Sifat-sifat
komunikasi lisan adalah (1) produksinya menggunakan alat bicara,
sedangkan penerimanya menggunakan indra pendengaran; (2) kecuali dalam
komunikasi telpon atau komunikasi dalam kegelapan, pengirim dan penerima
saling melihat tubuh dan wajah masing-masing; dan (3) kecuali dalam
menerima komunikasi melalui rekaman, pada dasarnya tidak ada jarak
waktu antara produksi dan penerimaan (Hoed, 2008:184).
Kesusastraan Melayu Purba
Ketiadaan
mode dan sarana perekaman secara tertulis menyebabkan hasil
kesusastraan masyarakat Melayu prasejarah cukup sukar untuk
dideskripsikan secara tepat. Namun, rekonstruksi dari berbagai atribut
kelisanan yang masih meninggalkan jejak pada masyarakat Melayu yang
hidup pada masa-masa selanjutnya mengisyaratkan bahwa masyarakat Melayu
Purba telah menghasilkan apa yang disebut sebagai kesusastraan rakyat (folk literature), baik yang berbentuk puisi maupun prosa.
Kesusastraan
rakyat dapat dikenali sebagai salah satu hasil folklor, sehingga
ciri-cirinya mirip dengan folklor, yaitu: (1) penyebaran dan
pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui
tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai
gerak isyarat dan alat bantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya, (2) bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk
relatif tetap atau dalam bentuk standar serta disebarkan di antara
kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua
generasi), (3) ada dalam versi-versi, bahkan varian-varian, yang
berbeda-beda, (4) bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak
diketahui orang lagi, (5) mempunyai rumus atau pola tertentu, (6)
mempunyai fungsi atau kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif,
(7) bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum, (8) menjadi milik bersama dari kolektif tertentu,
(9) bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar atau
terlalu spontan (James Dananjaya, 1994:3-4).
Dalam
masyarakat Melayu Purba, kesusastraan bergenre puisi yang terawal
mungkin pantun, teka-teki, talibun dan mantera. Genre-genre ini dianggap
sebagai bentuk yang sedikit sekali memperoleh pengaruh campur tangan
asing (Harun Mat Piah dalam Mohamed, 2000:44).
Mungkin
bentuk puisi yang paling tua adalah mantera, yang meliputi
bermacam-macam subgenre seperti jampi, sembur, seru, serapah, pengasih,
dan sebagainya. Hal ini bisa berkaitan dengan kepercayaan animisme
orang Melayu Purba (Harun Daod, 2007:4-9). Rasa
takut dan segan terhadap roh-roh gaib membuat orang Melayu Purba merasa
harus mengucapkan sesuatu, yang kemudian diberi nama mantera, agar
terhindar dari murka dan gangguan roh-roh tersebut. Dalam evolusinya,
mantera tidak hanya berkaitan dengan dunia supranatural, tetapi dapat
juga dapat berkaitan dengan manusia, sebagaimana tampak dalam mantera
yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain dalam hal cinta dan
perdagangan.
Mantera
adalah genre sastra yang lentur, sebagaimana yang terbukti dengan
transformasinya ketika menerima pengaruh dari luar seperti India dan
Islam. Walaupun demikian, mantera juga tetap berhasil mempertahankan
struktur dasarnya, yaitu (1) struktur mantera mempunyai gagasan utama,
teknik pengembangan, dan teknik persuasi, (2) bahasa mantera termasuk
perlambangan dan kata khusus, (3) latar belakang mantera meliputi latar
belakang religi, falsafah, dan etika, (4) mantera ditujukan kepada
entitas-entitas tertentu seperti Tuhan, roh, makhluk halus, dan
diarahkan kepada unsur magis, (5) tata cara pengucapan mantera yang
mencakup tempat, peristiwa, pelaku, kelengkapan, dan (6) persyaratan
dalam rangka memilih dan mengucapkan mantera (Daod, 2007:9).
Dalam
bidang prosa, masyarakat Melayu Purba menghasilkan khasanah cerita
prosa rakyat yang sangat kaya. Cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam
tiga golongan besar (Bascom dalam James, 1994:50), yaitu Mite (myth)
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa
atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau bukan
di dunia yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Legenda (legend) adalah cerita prosa rakyat yang mempunyai
ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar
terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohi manusia, walaupun
adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga
dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti
yang kita kenal kini karena waktu terjadinya belum terlalu lampau.
Sedangkan dongeng (tale) adalah prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat
oleh waktu maupun tempat.
Orang
Melayu purba mungkin menciptakan, mengapresiasi, dan mengamalkan serta
menghayati hasil-hasil kesusastraan lisan mereka yang kaya itu dalam
berbagai kesempatan yang dianggap bermakna dalam kehidupan mereka.
Dengan demikian, pada masa yang jauh itu pun kesusastraan Melayu Purba
telah mengemban tugas dan fungsi sosial kemasyarakatan dan fungsi
religius, selain fungsi estetika.
Kita
kini dapat membayangkan bahwa seorang Melayu Purba, berbekal kapak
atau beliung, berlutut di tepi sebuah hutan lebat di sisi timur pulau
Sumatra dan mengucapkan mantera-mantera untuk memohon izin kepada roh
penunggu hutan yang akan diubah menjadi ladang. Pada kesempatan yang
lain, kita dapat membayangkan bahwa anak-anak Melayu Purba keluar dari
rumah pada saat terang bulan dan bergembira bersama sambil bertukar
pantun atau teka-teki.
Pada
kesempatan yang lain lagi, ketika padi di sawah telah menguning dan
merunduk-runduk ditiupi angin sore, sebuah keluarga Melayu Purba
mengucapkan syukur kepada alam semesta atas bakal panen itu dan
memberikan sesaji, mungkin berupa rebusan telur ayam yang telah
dibelah, disertai dengan nasi putih dan taburan bunga-bunga, dan
mungkin juga disertai dengan kemenyan yang dibakar dan menyebarkan bau
harum ke seluruh penjuru.
______________
Referensi
B.H. Hoed, 2008. “Komunikasi lisan sebagai dasar tradisi lisan”. Dalam Metodologi kajian tradisi lisan. Pudentia, MPSS (ed.). 2008. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Bernard Philippe Grosslier, 2007. Indochina: persilangan kebudayaan.
Diterjemahkan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia oleh
Kepustakaan Populer Gramedia. Cetakan ke-2. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Haron Daud, 2007. Mantera Melayu analisis pemikiran. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia.
James Dananjaya, 1994. Folklor Indonesia ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Cetakan ke-4. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.
Noriah Mohamed, 2000. Sejarah sosiolinguistik bahasa Melayu Lama. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia.
0 komentar:
Posting Komentar