Oleh : Dr (HC). Tenas Effendy
Penulis
memperkenalkan makna lambang-lambang yang terkandung dalam seni
bangunan di Riau. Menurutnya, sandaran atau sumber seni bangunan
tradisional di Riau dapat dijumpai dalam berbagai bentuk puisi
tradisional serta ungkapan-ungkapannya yang khas. Oleh karena itu, untuk
mengetahui dengan tepat makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni
bangunan tradisional tersebut diperlukan pengetahuan yang mendalam
mengenai sastra lisan, tulisan, dan ungkapan lama.
Pendahuluan
Bangunan tradisional yang disebut juga “seni bina” Melayu, terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah sebagai “cahaya hidup di bumi, tempat beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya”. ltulah sebabnya rumah dikatakan “mustahak”, dibangun dengan berbagai pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikian diyakini bangunan akan benar-benar memberikan kesempurnaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan bagi masyarakat sekitarnya.
Lambang-lambang
yang berkaitan dengan bangunan tradisional Melayu bukan saja terdapat
pada bagian-bagian bangunan, tetapi juga dalam bentuk berbagai upacara,
bahan bangunan dan namanya, serta letak bangunan. Oleh karena perjalanan
masa, lambang-lambang tersebut tidak mudah dilacak lagi. Berbagai
masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan, karena cukup banyak
nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam suatu masyarakat telah
terabaikan dan punah karena pergeseran dan perubahan nilai budaya yang
terus terjadi. Nilai budaya Melayu Riau umumnya berpunca dari tiga aspek
dominan, yaitu agama Islam, adat Melayu, dan tradisi Melayu. Adat dan
tradisi yang kian melonggar berangsur-angsur menyebabkan nilai-nilai
asli semakin kabur dan kehilangan warna.
Dalam
seni bangunan tradisional, pergeseran dan perubahan sangat jelas
terlihat. Di seluruh Riau, bangunan tradisional semakin sedikit,
sedangkan lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal
oleh masyarakat. Musyawarah, upacara, dan kegotong-royongan dalam
pelaksanaan pendirian bangunan sudah sangat diabaikan. Tempat bangunan
pun tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Bentuk dan
ukuran rumah telah digantikan oleh gaya arsitektur masa kini. Menurut
tradisi, bahan bangunan harus dipilih dengan cara tertentu, namun kini
bahan bangunan tergantung dari pasaran. Begitu pula dengan ragam hias
dan lain sebagainya.
Di
kampung-kampung masih banyak sisa-sisa bangunan tradisional, namun
pemilik atau orang tua-tua di sana tidak banyak lagi yang mengetahui
makna lambang-lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang dapat
membuat bangunan berpola tradisional, mereka kurang mengetahui arti yang
terkandung dalam lambang-lambang tersebut. Masalah lain yang merupakan penghambat adalah kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu Riau.
Tulisan
ini hanya membahas tentang seni bangunan Melayu Riau dan bukan seni
bangunan Melayu seluruhnya karena sulitnya mendapatkan sumber tertulis
yang berkaitan dengan seni bangunan Melayu seluruhnya. Sumber informasi
tulisan ini sebagian besar berasal dari sastra lisan di pedalaman Riau,
seperti Bilang Undang dan Nyai Panjang yang masih kuat tertanam dalam
ingatan masyarakat pendukungnya.
Arti, Fungsi, Dan Bentuk Bangunan
Setiap bangsa dan sukubangsa tentu mengenal arti, fungsi, dan bentuk bangunan tradisional dengan ciri khasnya, di samping nilai-nilai universal yang dikandungnya. Demikian pula dengan orang Melayu.
Bangunan
tradisional Melayu adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat
dijadikan sebagai tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat
beradat berketurunan, dan tempat berlindung siapa saja yang
memerlukannya. Ini tergambar pada sebuah ungkapan tradisional Riau yang
berbunyi:
Yang bertiang dan bertangga
Beratap penampung hujan penyanggah panas
Berdinding penghambat angin dan tempias
Berselasar dan berpelantar
Beruang besar berbilik dalam
Berpenanggah dan bertepian
Beratap penampung hujan penyanggah panas
Berdinding penghambat angin dan tempias
Berselasar dan berpelantar
Beruang besar berbilik dalam
Berpenanggah dan bertepian
Tempat berhimpun sanak saudara
Tempat berunding cerdik pandai
Tempat bercakap alim ulama
Tempat beradat berketurunan
Tempat berunding cerdik pandai
Tempat bercakap alim ulama
Tempat beradat berketurunan
Yang berpintu berundak-undak
Bertingkap panjang berterawang
Berparan beranjung tinggi
Berselembayung bersayap layang
Berperabung kuda berlari
Berlarik jerajak luar
Bertebuk kisi-kisi dalam
Bidainya tingkat bertingkat
Kaki dan atap berombak-ombak
Berhalaman berdusun
Di situ berlabuh kaum kerabat
Di situ bertambat sanak famili
Di situ berhenti dagang lalu
Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya pada empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang bertumpuk, beras padi, dan anak-anak muda. Rumah tangga sebagai cahaya pertama hendaknya dipelihara sebaik-baiknya dengan dipagari adat atau tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan:
Bertingkap panjang berterawang
Berparan beranjung tinggi
Berselembayung bersayap layang
Berperabung kuda berlari
Berlarik jerajak luar
Bertebuk kisi-kisi dalam
Bidainya tingkat bertingkat
Kaki dan atap berombak-ombak
Berhalaman berdusun
Di situ berlabuh kaum kerabat
Di situ bertambat sanak famili
Di situ berhenti dagang lalu
Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya pada empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang bertumpuk, beras padi, dan anak-anak muda. Rumah tangga sebagai cahaya pertama hendaknya dipelihara sebaik-baiknya dengan dipagari adat atau tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan:
Empat hutang orang tua kepada anaknya
Pertama mandi ke air
Kedua jejak tanah
Ketiga sunat Rasul bagi anak laki-laki
Tindik dabung bagi anak perempuan
Keempat mendirikan rumah tangganya
Pertama mandi ke air
Kedua jejak tanah
Ketiga sunat Rasul bagi anak laki-laki
Tindik dabung bagi anak perempuan
Keempat mendirikan rumah tangganya
Rumah ada adatnya
Tepian ada bahasanya
Jalan bersetabik
Cakap bersetina
Duduk berbatuh
Makan berkatab
Tepian ada bahasanya
Jalan bersetabik
Cakap bersetina
Duduk berbatuh
Makan berkatab
Kandungan
makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu sangat luas,
sehingga menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup. Oleh
karena itu bangunan hendaknya didirikan dengan tata-cara yang sesuai
dengan ketentuan adat, sehingga bangunan itu dapat disebut “rumah
sebenar rumah”.
Bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya ditentukan oleh bentuk atapnya, seperti Atap Belah Bubung, Atap Limas, dan Atap Lontik.
Rumah dengan perabung lurus pada tengah puncak atap, dengan kedua
bagian sisi atapnya curam ke bawah seperti huruf V terbalik disebut Atap Belah Bubung, Bubung Melayu, atau Rabung Melayu. Jika atapnya curam sekali disebut Lipat Pandan. Sebaliknya, jika atapnya mendatar disebut Lipat Kajang. Jika pada bagian bawah atap ditambah atap lain, disebut Atap Labu, Atap Layar, Atap Bersayap, atau Atap Bertinggam. Keterangan mengenai hal ini dapat dijumpai dalam salah satu ungkapan tradisional yang berbunyi:
Perabung lurus di tengah-tengah
Atap mencucur kiri kanan
Yang mengembang lipat kajang
Yang tegak berlipat pandan
Atap bertingkat Ampar Labu
Berempang leher Atap Bertinggam
Menguak ke samping Atap Bersayap
Tadahan angin Atap Layar
Atap mencucur kiri kanan
Yang mengembang lipat kajang
Yang tegak berlipat pandan
Atap bertingkat Ampar Labu
Berempang leher Atap Bertinggam
Menguak ke samping Atap Bersayap
Tadahan angin Atap Layar
Jika perabung atap bangunan itu sejajar dengan jalan raja, orang Melayu menyebutnya Rumah Perabung Panjang. Sebaliknya, jika tidak sejajar disebut Rumah Perabung Melintang. Ungkapan tradisional menyebut bangunan ini secara teliti.
Di mana letak Perabung Panjang
Pada labuh dan tambak panjang
Lurusnya bagai antan disusun
Selari bagai induk tangga
Kalau perabung bersilang tambak
Bertelingkai bagai ranting
Bagai tangga dengan induknya
ltu tandanya Perabung Melintang
Pada labuh dan tambak panjang
Lurusnya bagai antan disusun
Selari bagai induk tangga
Kalau perabung bersilang tambak
Bertelingkai bagai ranting
Bagai tangga dengan induknya
ltu tandanya Perabung Melintang
Jika perabung bangunan itu melentik ke atas pada kedua ujungnya, disebut Rumah Lontik, Rumah Pencalang, atau Rumah Lancang, karena bentuk hiasan pada kaki dinding di depan dan di belakang seperti bentuk perahu. Ini dinyatakan dalam ungkapan:
Lontik rumah pada perabung
Lontik sepadan ujung pangkal
Lontik sepadan ujung pangkal
Tempat hinggap sulo bayung
Tempat bertanggam tanduk buang
Tempat bertanggam tanduk buang
Jika atap Rumah Lontik ini bertingkat, disebut Rumah Gorai atau Gerai. Rumah atap limas yang diberi tambahan di bagian muka dan belakang dengan atap lain yang berbentuk limas disebut Limas Penuh, tetapi jika atap tambahan itu berbentuk Belah Bubung, maka rumah itu disebut Limas Berabung Melayu. Keterangan yang ada dalam ungkapan tradisional mengatakan:
Bersorong limas dengan limas
Padanan disebut limas penuh
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah
Kalau berpatut limas dengan kajang
Berpandan dengan lipat pandan
Di situ tegak kunyit-kunyit
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah
Padanan disebut limas penuh
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah
Kalau berpatut limas dengan kajang
Berpandan dengan lipat pandan
Di situ tegak kunyit-kunyit
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah
Bangunan
di atas umumnya berbentuk persegi panjang dan jarang sekali berbentuk
bujur sangkar. Lagi pula bangunan itu dinyatakan sebagai “tinggi lucup
kepala, rendahnya seanjing duduk”, yang menggambarkan rumah panggung.
Penutup
Demikian selintas pandang tentang makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional Melayu. Tentu masih banyak lambang-lambang yang tercecer dari pandangan penulis. Keragaman warna budaya daerah Riau memungkinkan adanya perbedaan penafsiran atas lambang-lambang suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini memerlukan telaah yang lebih tajam dan mendalam.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. (Nakula) B. 1978. Bentuk-bentuk Bangunan Mesjid Kunci Memahami Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia.
Effendy, T. 1980. Bilang Undang Membayar Tanda. Naskah.
Abdullah, M. (Nakula) B. 1978. Bentuk-bentuk Bangunan Mesjid Kunci Memahami Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia.
Effendy, T. 1980. Bilang Undang Membayar Tanda. Naskah.
––––––––––. 1981. Kumpulan Mantra Melayu. Naskah.
––––––––––. 1983a. Ragam Pantun Melayu. Naskah.
––––––––––. 1983b. Upacara Belian. Naskah.
Effendy, T. dan O. K. Nizami Jamil. 1980. Seni Ukir Daerah Riau. Riau: Pemda Riau.
Pemda Riau. 1982. Anjungan Riau di TMII Jakarta. Booklet.
Sabrin, A. 1978/1979. Bentuk-bentuk Ornamen Daerah Riau. Kumpulan naskah kesenian Daerah Riau. Proyek Pengembangan Kesenian Riau.
Tim Penulis IDKD. 1982/1983a. Ungkapan Tradisional Daerah Riau.
––––––––––. 1982/1983b. Arsitektur Tradisional Daerah Riau.
––––––––––. 1982/1983c. Isi dan Kelengkapan Rumah Tradisional Daerah Riau.
––––––––––. 1983/1984. Ungkapan Tradisional yang Berkaitan Dengan Sila-sila dalam Pancasila di Daerah Riau.
Dr (HC). Tenas Effendy, dilahirkan
pada 9 November 1936, di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk,
Pelalawan, dari ayah yang bernama Tengku Said Umar Muhammad Aljufri dan
Ibu Tengku Syarifah Azamah binti Tengku Said Abubakar. Tengku
Nasaruddin Said Effendy atau dikenal dengan Tenas Effendy melarutkan
dirinya menekuni seluk-beluk budaya Melayu, khasnya budaya Melayu Riau.
Minatnya yang besar untuk mengangkat dan mengekalkan nilai-nilai luhur
budaya ini, mendorongnya untuk menulis dan merekam keberagaman budaya
Melayu. Selama lebih dari 30 tahun ia bergelimang dalam pengkajian
budaya Melayu.
Dengan
modal pendidikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Guru (SGB dan SGA), ia
belajar sendiri, termasuk menimba pengalaman dari berbagai seminar dan
pertemuan, baik di dalam maupun di luar negeri. Karenanya, karya Tenas
Effendy terasa sederhana dan “apa adanya” dengan bahasa yang mudah
dipahami awam.
Selain
aktif memenuhi permintaan ceramah tentang budaya Melayu di berbagai
seminar kebudayaan di dalam dan luar negeri, Tenas Effendy juga pernah
menjabat sebagai Ketua Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu,
Riau. Beliau juga sebagai pendiri dan penasehat Tenas Foundation, Tenas
sudah melahirkan lebih dari 67 judul karya tulis, sebagian besar
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Riau, sebagian lainnya di luar Riau,
termasuk oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia
dan beberapa penerbit lain. Di rumahnya masih tersimpan berjilid-jilid
karya tulis yang belum diterbitkan, dan ratusan pita rekaman seni budaya
Melayu dari berbagai puak dan berbagai bidang seni budaya, termasuk
kumpulan ungkapan tradisional Melayu yang berisi lebih dari 17.500 buah
ungkapan dan koleksi pantun yang berisi lebih dari 10.000 bait pantun
Melayu.
0 komentar:
Posting Komentar